‘Aku mendapat sebutan perempuan simpanan dari mulut masyarakat. Tetapi itu tidak menyinggung perasaanku. Aku dan Yoshida saling membutuhkan. Dia memberi semua yang kuminta. Tetapi aku tidak pernah mengganggu ketentraman orang lain, tidak merugikan siapapun. Bahkan aku menolong banyak kawan dan kenalan dengan hartaku (Namaku Hiroko: halaman 242).’
Namaku Hiroko, sebuah novel karya N.H Dini yang mencoba untuk menuliskan bentuk perlawanan perempuan terhadap lelaki/keluarga atas perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan di Jepang. Diskriminasi dalam karya tersebut sangat kentara sekali saat peran utama sebagai Hiroko, seorang gadis desa yang mendapat kekangan keluarga untuk tidak sekolah dan harus menuruti kemauan ayahnya agar pergi ke kota untuk bekerja dan mencari peruntungan. Dalam karya tersebut juga digambarkan bagaimana lelaki memandang Hiroko sebagai objek untuk memberikan kepuasan. Bagaimana ketika Hiroko bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota, dia harus melayani hasrat tuannya untuk berbuat intim dengannya. Perempuan hanya dianggap sebagai pemuas nafsu dan dalam kebudaayaan di jepang, terdapat batas-batas mengenai perilaku perempuan.
Hal yang dimaksud sisi femininitas dalam karya ini, adalah dimana Hiroko memperankan sebagai perempuan yang harus melayani lelaki dengan keluguan dan kesopanan. Sedangkan sisi maskulinitas disini adalah ketika lelaki memiliki pekerjaan yang mapan dan kemampuan untuk menarik lawan jenis dengan harta yang dia miliki. Namun, sosok Hiroko hadir sebagai perempuan modern yang bebas menentukan hidupnya sendiri sebagai upaya untuk memuaskan dirinya. Bagaimana dia memutuskan dengan yakin untuk menjadi penari telanjang dan tidak ada penyesalan karena ia telah memilih pekerjaan itu sebagai bagian dari hidupnya. Walau pada akhirnya Hiroko harus mengambil pilihan-pilihan yang sulit untuk meneruskan hidupnya, tetapi dia puas telah memperoleh kenikmatan dalam hidupnya.
Karya tersebut merupakan secuil pengalaman yang pernah N.H Dini dengar dari teman yang pernah dikenalnya dan kemudian beliau ungkapkan dalam novel tersebut. Dalam setiap karya N.H Dini, kebanyakan bersumber pada kisah nyata yang beliau dengar dan kumpulkan. Proses penulisan karya beliau tanpa ada persiapan, dan tak ada embel-embel pengaruh –isme dalam penulisannya. Walau banyak orang menilai bahwa N. H Dini adalah seorang feminis. Tetapi beliau tidak perduli. Beliau hanya mencoba menguak tentang permasalahan keadilan dan kejujuran di masyarakat antara lelaki dan perempuan. Menurutnya “jika masyarakat belum menciptakan kebaikan (Red: diskriminasi terhadap perempuan), saya akan terus menulis dan akan terus membela kepentingan perumpuan dalam karya saya. Walaupun orang menilai saya adalah feminis, saya tidak perduli. Saya juga tak segan untuk menulis cerita tentang lelaki, jika ada ketidakadilan terhadap lelaki.”
Seminar ‘Femininitas dan maskulinitas dalam karya-karya N.H Dini’ telah beliau sampaikan pada jum’at, 02 Desember 2011 dalam rangka acara Bulan Bahasa oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Menurut keterangan Adelia, panitia acara, seminar tersebut merupakan gabungan dengan kuliah umum Pengantar Kajian Urban yang nantinya mahasiswa mampu mengetahui apa saja karya-karya N.H Dini serta mencari benang merah dalam karya-karya N.H Dini dengan Femininitas dan Maskulinitas pada kajian urban saat ini. “Prinsip-prinsip yang diperjuangkan N.H Dini adalah tentang kebebasan wanita. Maka, tidak heran kritikus mengatagorikan beliau feminis. Walau beliau sendiri mengaku bukan feminis. Dari karya-karya yang berbeda dalam dialektikanya, yang memberikan tawaran-tawaran ideologi yang berbeda” tutur Puji Karyanto selaku Dekan I FIB.
No comments:
Post a Comment